MATARAM KUNA
adalah nama kerajaan kuna pada abad VIII – X Masehi yang wilayahnya meliputi propinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta saat ini. Kerajaan ini berlatar belakang agama Hindu dan Buddha. Keberadaan kerajaan Mataram Kuna telah jelas pada tahun 732 M, dengan ditemukannya prasasti Canggal di Gunung Wukir, Magelang. Prasasti ini selain berisi tentang penanggalan dengan Candrasangkala Sruti Indira rasa (654 Saka), juga menyebut nama tokoh (raja) Sanjaya yang mengaku sebagai anak Sanaha, saudara perempuan Sanna.
Di wilayah Jawa Tengah juga ditemukan beberapa prasasti tidak berangka tahun, yang diduga berasal dari masa yang lebih tua dari pada prasasti Canggal. Dua diantaranya adalah prasasti Tuk Mas dari daerah Grabag, Magelang dan prasasti Sojomerto. Prasasti Tuk Mas menceritakan tentang sumber air yang suci, yang disamakan dengan Sungai Gangga di India. Di samping itu, prasasti ini juga memuat gambar-gambar berupa trisula, Kamandalu dan teratai yang digunakan sebagai symbol dalam agama Hindu, tetapi tidak menyebutkan atas perintah siapa prasasti ini ditulis (Atmosudiro, dkk, 2008).
Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah diperkirakan berasal dari abad VII M. Prasasti ini menyebut nama tokoh Dapunta Salendrayang mengaku sebagai anak dari Santanu dan Bhadrawati. Tokoh tersebut mempunyai isteri bernama Sampula. Berdasarkan nama-nama itu, Boechari berpendapat bahwa nama Dapunta Salendra merupakan adaptasi dari ejaan Syailendra dari bahasa Sanskerta. Pendapat tersebut kemudian mengubah alur kisah dalam historiografi Mataram Kuna yang pernah disusun oleh N.J. Krom dan J.G de Casparis.
Perbedaan mendasar asumsi pertama Boechari adalah pendapat tentang wangsa atau dinasti di Jawa Tengah pada abad VIII – X Masehi (Atmosudiro, dkk, 2008). Asumsi pertama mengangggap bahwa di Jawa Tengah pada masa itu terdapat dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya dan dinasti Syailendra. Asumsi ini didasarkan atas sebutan dua nama yang tercantum dalam prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 Masehi, yaitu nama (pihak) raja yang menghadiahkan tanah dan nama raja yang membangun bangunan suci bagi Dewi Tara di Kalasan. Selain itu, Sanjaya dianggap sebagai nama dan pendiri dinasti karena penyebutannya di dalam prasasti Canggal 732 Masehi dan disebut pula sebagai Rakai Mataram, Sang Ratu Sanjaya sebagai urutan pertama dalam prasasti Mantyasih 907 Masehi.
Sementara itu, di Jawa Tengah juga ditemukan beberapa prasasti yang menyebut raja sebagai keturanan Wangsa Syailendra (prasasti Abhayagiriwihara 792 M, Kelurak 782 M, Kayuwungunan 824 M dan Cri Kahulunan 824 M). Dengan demikian, secara menyakinkan sejarawan pada masa itu menunjuk bahwa Kerajaan Mataram Kuna pada abad VIII – X M diperintah secara bergantian oleh raja-raja dari dinasti dan dinasti Syailendra (Atmosudiro, dkk, 2008).
Asumsi kedua, terutama dikemukakan oleh Boechari didasarkan atas isi prasasti Sojomerto yang digunakan sebagai titik tolak pendapatnya tentang dinasti bahwa hanya ada satu dinasti Syailendra dan pendirinya (Wangsakarta) adalah Dapunta Salendra. Pendapat ini sebenarnya diilhami oleh artikel R.M.Ng. Poerbatjaraka yang berjudul “Crivijaya, De Cailendra en de Sanjayavamca” yang merupakan sanggahan atas artikel F.D.K. Bosch dengan judul yang sama. Meskipun judulnya sama tetapi isinya sangat bertolak belakang, karena perbedaan interpretasi terhadap sebutan nama yang tercantum dalam prasasti Kalasan 778 M.
Boechari menempatkan raja-raja yang disebut dalam prasasti-prasasti Jawa Tengah abad VIII – X M sebagai keluarga besar dinasti Syailendra, yang sebagian menganut agama Hindu (Siwa) dan sebagian yang lain menganut agama Buddha. Hal ini sesuai dengan tinggalan-tinggalan monumental berupa bangunan candi yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta serta berlatar belakang agama Hindu dan Buddha secara berdampingan.
Keyakinan ini didukung pula dengan bukti prasasti batu koleksi Museum Adam Malik yang dikenal dengan sebutan prasasti Sangkar. Prasasti ini menyebutkan seorang tokoh yang terpaksa tidak mempercayai ‘guru’nya (tabib) karena tidak dapat menyembuhkan sakit ayahnya, sehingga akhirnya dia kembali kepada ‘sangha’nya.
Prasasti itu mengisyaratkan adanya perpindahan agama dari agama Hindu menjadi Buddha. Peristiwa itu ditandai dengan pembangunan candi untuk Manjusri (Manjusrigraha), kompleks candi Plaosan Lor dan Candi Borobudur (Atmosudiro, dkk, 2008).
Meskipun kedua model penulisan sejarah Mataram Kuna belum terdapat kesepakatan, tetapi berdasarkan identifikasi terhadap nama-nama tokoh yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah III, diketahui bahwa keberadaan kerajaan ini berlangsung sampai pertengahan pertama abad X M.
Berdasarkan identifikasi nama-nama tokoh (raja) yang terdapat dalam prasasti-prasasti dapat diketahui bahwa Jawa Tengah pada awalnya diperintah oleh raja sekaligus menjadi wangsakarta (pendiri dinasti), yaitu Dapunta Sailendra. Beberapa saat kemudian setelah tidak ditemukan informasi lagi baik tentang tokoh ini maupun penggantinya, muncul tokoh bernama Sanjaya yang dimuat dalam prasasti Canggal tahun 732 M.
Nama Sanjaya ternyata juga disebut dalam urutan pertama dalam prasasti Mantyasih tahun 829 Saka (907 M), yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pencatuman nama Sanjaya dan nama-nama tokoh lain yang memerintah sebelum Balituing dalam prasasti ini sangat membantu dalam rekontruksi Kerajaan Mataram Kuna. Bahkan, identifikasi tokoh yang pernah berkuasa di masa Kerajaan Mataram Kuna menjadi lebih lengkap ketika di daerah Temanggung ditemukan prasasti Wanua Tengah III tahun 830 S (908 M).
Berdasarkan hasil identifikasi tokoh yang dimuat dalam prasasti-prasasti yang berasal dari Jawa Tengah, dapat diketahui tokoh-tokoh yang memerintah Mataram Kuna adalah:
- Dapunta Salendra (abad VII M)
- Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732 M)
- Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
- Rakai Panaraban (784 – 803 M)
- Sri Maharaja Rakai Panunggalan (?)
- Sri Maharaja Rakai Warak (Dyah Manara) (803 – 827 M)
- Dyah Gula (827 – 828 M)
- Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
- Sri Maharaja Rakai Pikatan (Dyah Saladu (847 – 855 M)
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855 – 885 M)
- Dyah Tagwas (? – 885 M)
- Rakai Panunwangan Dyah Dewendra (885 – 887 M)
- Rakai Rarunwangi Dyah Bhadra (887 M)
- Sri Maharaja Rakai Watuhumalang/Wungkalhumalang Dyah Jbang (894 – 898 M)
- Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898 – 909 M)
- Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubjrapratipaksaksaya (910 – 913 M)
- Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tuladong (913 – 919 M)
- Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919 – 925 M).
Daftar nama raja penguasa di atas didasarkan atas kompilasi beberapa prasasti yang menyebut nama tokoh yang dapat dikaitkan secara kronologis dengan prasasti yang memuat daftar nama tokoh tersebut.
Meskipun demikian masih ditemukan beberapa prasasti lain yang menyebut nama tokoh, walaupun secara kronologis dapat di sejajarkan dengan salah satu dari nama tokoh di atas, tetapi secara morfologis dan latar belakang keagamaan tidak dapat dikaitkan secara langsung.
Nama-nama tokoh tersebut di antaranya adalah Bhanu (prasasti Ligor 752 M), Samarattungga (prasasti Kayumwungan 824 M), Rakai Patapan Pu Manuku (Prasasti Gondosuli 807 M), Balaputradewa (prasasti Pereng 850 M), Rakai Walaingpu Kumbhayoni (prasasti pendek dari Bukit Ratu Boko 856 – 863 M).
Nama-nama tokoh tersebut meskipun keberadaaannya dapat diakui, tetapi penempatannya dalam kerangka sejarah membutuhkan bukti lain (prasasti) yang dapat mendukungnya (Atmosudiro, dkk, 2008).